Translate in :

Kamis, 12 Juni 2014

Toleransi dalam Perspektif al-Quran dan Sunnah

Kemunduran dunia Islam yang masih terus berlangsung hingga saat ini, tidak dapat dipungkiri, telah berdampak negatif terhadap kondisi umat Islam secara internasional. Kaum muslim di berbagai belahan dunia terus menjadi bulan-bulanan para musuh Islam (baca: jaringan Zionis internasional dan Barat), tanpa mampu memberikan perlawanan yang berarti. Meski sejak paruh terakhir abad keduapuluh penetrasi secara fisik (militer) terhadap wilayah-wilayah Islam telah banyak menurun intensitasnya, namun tidak berarti umat Islam dapat bernapas lega. Ini dikarenakan para musuh Islam telah menyiapkan bentuk-bentuk penjajahan baru (new imperialism)
yang efeknya tidak kalah mengerikan dari peperangan secara fisik. Hegemoni di bidang ekonomi, politik, budaya, dan pemikiran, yang terus dibangun oleh para penentang Islam tersebut, hanyalah sebagian, untuk sekedar menyebut contoh, dari bentuk-bentuk konspirasi mutakhir untuk tetap memposisikan kaum muslim sebagai pihak yang inferior.[1]
Terutama dalam bidang pemikiran, umat Islam pada saat sekarang tengah berada di pusaran arus perang pemikiran (al-ghazwu al-fikriy) yang dahsyat. Jaringan global musuh-musuh Islam gencar melakukan upaya “pencucian otak” terhadap umat Islam dengan cara menyerang konsep-konsep/ajaran-ajaran Islam di satu sisi, dan pada saat bersamaan mendesakkan konsep-konsep pemikiran mereka. Targetnya adalah menjadikan umat Islam secara perlahan-lahan terjauh, atau setidak-tidaknya mengalami pendangkalan pemahaman, dari ajaran-ajaran agamanya.
Salah satu aspek ajaran Islam yang pada saat ini banyak mendapat sorotan tajam adalah konsep tentang pluralisme dan toleransi. Kaum Zionis dan Barat gencar mengkampanyekan bahwa Islam adalah agama yang anti toleransi dan kemajemukan. Mereka juga berusaha keras merusak citra Islam dengan mengembangkan opini bahwa Islam dan umat Islam tidak menghargai kesetaraan hidup (equality of life) dan hak-hak asasi manusia. Upaya-upaya ini sangat membahayakan karena dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan.
Guna mengantisipasi dampak negatif dari gelombang perang urat syaraf yang mencemaskan ini, tentunya sangat diperlukan usaha bersama segenap umat Islam untuk kembali berusaha menggali serta menghayati konsep Islam tentang toleransi yang kini sedang diusahakan untuk dikaburkan. Umat Islam, terutama generasi muda, harus diberikan pemahaman yang benar tentang konsepsi ini, sehingga ketidaktahuan atau keragu-raguan mereka tidak menjadi sasaran empuk propaganda keji Zionis dan Barat. Dalam kerangka inilah tulisan singkat ini dimaksudkan, atau, meminjam istilah Yusuf Qaradhawi, ia ditujukan untuk menjelaskan konsepsi yang sebenarnya (taudhîh al-haqâiq), menghilangkan keragu-raguan (izâlah al-syubuhât), serta meluruskan persepsi yang keliru (tashhîh al-afhâm).[2]
Dalam tulisan yang sangat sederhana berikut ini, penulis berusaha mengelaborasi secara tematis konsep Islam tentang toleransi dan pluralisme. Diawali dengan penjelasan seputar definisi, kemudian dilanjutkan dengan upaya untuk membuktikan bahwa Islam menerima pluralisme sekaligus memberikan jalan keluar dalam mensikapinya, yaitu dengan prinsip toleransi (tasâmuh). Pada bagian akhir akan diuraikan secara komprehensif solusi dimaksud, sesuai dengan perspektif yang dimajukan al-Quran dan sunnah.

1. Definisi Toleransi dan Pluralisme
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata toleransi berarti sifat atau sikap toleran.[3]Kata toleran sendiri didefinisikan sebagai “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.[4]

Kata toleransi sebenarnya bukanlah bahasa “asli” Indonesia, tetapi serapan dari bahasa Inggris “tolerance”, yang definisinya juga tidak jauh berbeda dengan kata toleransi/toleran. Menurut Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English, toleransi adalah quality of tolerating opinions, beliefs, customs, behaviors, etc, different from one’s own.[5] Lebih lanjut menurut Abdul Malik Salman, kata tolerance sendiri berasal dari bahasa latin “tolerare” yang berarti “berusaha untuk tetap bertahan hidup, tinggal, atau berinteraksi dengan sesuatu yang sebenarnya tidak disukai atau disenangi.[6] Dengan demikian, pada awalnya dalam makna tolerance terkandung sikap keterpaksaan.

Adapun dalam bahasa Arab, istilah yang lazim dipergunakan sebagai padanan dari kata toleransi adalah
سماحة atau تسامح. Kata ini pada dasarnya berarti al-jûd (kemuliaan),[7] atau sa’at al-shadr (lapang dada) dan tasâhul (ramah, suka memaafkan).[8] Makna ini selanjutnya berkembang menjadi sikap lapang dada/ terbuka (welcome) dalam menghadapi perbedaan yang bersumber dari kepribadian yang mulia.[9] Dengan demikian, berbeda dengan kata tolerance yang mengandung nuansa keterpaksaan, maka kata tasâmuh memiliki keutamaan, karena melambangkan sikap yang bersumber pada kemuliaan diri (al-jûd wa al-karam) dan keikhlasan.

Jika dicermati dengan seksama, pemahaman tentang toleransi tidak dapat berdiri sendiri. Ia terkait erat dengan suatu realitas lain di alam yang merupakan penyebab langsung dari lahirnya toleransi. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Memahami toleransi an sich tidak akan ada artinya tanpa memahami realitas lain tersebut, yaitu kemajemukan (pluralisme; bahasa Arab: ta’addudiyyah). Dengan demikian, untuk dapat bertoleransi dengan baik, maka pemahaman terhadap pluralisme terlebih dahulu mutlak diperlukan.

Secara etimologis, kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris “plural” yang berarti banyak (antonim dari kata singular).[10] Dalam perkembangannya, kata ini secara lebih spesifik ditujukan terhadap realitas masyarakat yang majemuk.[11] Artinya, masyarakat yang heterogen dalam satu aspek atau lebih, seperti dalam hal keturunan, pemikiran, tingkah laku, kepercayaan, adat istiadat, agama, dan sebagainya. Kemajemukan ini lahir melalui proses-proses tertentu, disadari atau tidak, atau dikehendaki maupun tidak dikehendaki.

2. Penerimaan Islam terhadap Pluralisme
Secara sosiologis, manusia merupakan makhluk yang bermasyarakat. Kehidupannya di atas dunia ini bersifat dependen, dalam arti eksistensinya, baik secara individual maupun komunal, tidak bisa lepas dari “campur tangan” pihak lain. Al-Quran menyebut salah satu fase penciptaan manusia dengan ‘alaq yang selain dapat dipahami sebagai “keadaan berdempet pada dinding rahim” juga pada hakekatnya menggambarkan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan selalu bergantung pada pihak lain, atau dengan kata lain tidak dapat hidup sendiri.[12]

Di sisi lain, dunia yang dihuni manusia bukanlah dunia yang singular, seragam atau semacam. Sebaliknya, Allah Swt menciptakannya penuh dengan keragaman dalam berbagai aspek, seperti lingkungan, atau spesies yang hidup di dalamnya. Masing-masing hidup dalam kelompok yang saling berkaitan.[13] Muhammad Imarah menjelaskan bahwa segala sesuatu selain Allah merupakan objek dari keanekaragaman. Hanya Allah yang benar-benar merupakan satu kesatuan yang mutlak (true unity).[14]

Jika dicermati, Allah Swt sebenarnya banyak menyinggung masalah pluralisme dalam al-Quran. Dalam surat al-Rum (30): 22 misalnya, Allah Swt menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam berbagai warna kulit dan bahasa.
ومن اياته خلق السموت والأرض والاختلاف السنتكم والوانكم ان فى ذلك لآيات للعالمين (الروم: 22)

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui ”[15]

Selanjutnya dalam surat al-Hujurat (49): 13, Allah Swt juga menyebutkan penciptaan manusia ke dalam suku-suku dan bangsa-bangsa.
يا ايها الناس ان ا خلقناكم من ذكر وانثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا (الحجرات: 13)
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal…”[16]

Bahkan, dengan redaksi yang lebih mempertegas eksistensi pluralisme, dalam surat al-Maidah (5): 48, Allah Swt kembali berfirman:
ولو شاء الله لجعلكم امة واحدة ولكن ليبلوكم فيما اتاكم فاستبقوا الخيرات (المائدة:48 (
“…Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan…”[17]
Pada ayat di atas Allah Swt menyatakan bahwa jika Dia menghendaki, maka semua manusia dapat saja dijadikan satu (seragam), baik secara fisik, pemikiran, bangsa, ideologi, bahkan agama. Sebagai contoh, jika Allah Swt enghendaki kesatuan pendapat pada seluruh manusia, maka niscaya diciptakan-Nya manusia itu tanpa akal, seperti layaknya binatang atau benda-benda tak bernyawa lainnya yang tidak memiliki kemampuan menalar, memilah, dan memilih. Akan tetapi hal tersebut tidak diinginkan-Nya. Kesan ketidakinginan ini tercermin dari penggunaan kata (harf) “لو “ yang dalam ilmu kaedah bahasa Arab berarti “pengandaian yang mengandung makna kemustahilan”.[18]
Dengan memahami berbagai penjelasan diatas, maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya dalam kacamata Islam, pluralisme di alam merupakan suatu kepastian/ keniscayaan , sama halnya dengan hukum-hukum alam lain yang diciptakan Allah Swt. Hukum-hukum ini diistilahkan al-Quran dengan sunnatullah, dimana tidak ada perubahan padanya (surat al-Ahzab (32): 62).

Sebagai sebuah sunnatullah, kemajemukan yang melandasi setiap sendi kehidupan manusia, tentu saja tidak terlepas dari latar belakang, sebab dan tujuan. Dari kutipan beberapa ayat di atas akan didapati kesan bahwa realitas tersebut sarat manfaat, tidak saja bagi manusia, namun juga bagi alam secara keseluruhan. Dalam surat al-Rum (30): 22 diatas, umpamanya, Allah Swt menyatakan bahwa kemajemukan merupakan salah satu tanda kebesaran dan manifestasi kemahakuasaan-Nya.

Demikian juga pada surat al-Hujurat (49); 13 diterangkan bahwa dijadikannya manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa adalah dalam rangka ta’âruf (saling mengenal). Akan tetapi, ta’âruf yang dimaksud tentu saja tidak berhenti pada makna kebahasaan saja, yaitu “keadaan saling mengenal”, namun ditekankan kepada dampak turunannya yang lebih besar, yaitu saling mengenal kelebihan dan kekurangan masing-masing untuk kemudian saling bekerjasama dan mengambil manfaat (keuntungan). Hasilnya, akan timbul lompatan-lompatan kemajuan (taqaddum) dalam peradaban umat manusia itu sendiri.[19]
Tidak berhenti disitu, dalam ayat ketiga, Allah Swt menambah lagi deretan hikmah yang akan didapatkan manusia dengan Pluralisme, yaitu terciptanya iklim attasâbuq fî al-khairât (kompetisi dalam amal-amal kebaikan). Secara psikologis, jika seseorang berada dalam situasi yang plural, maka ia akan terdorong untuk berkompetisi dengan orang lain. Artinya, ia akan dihadapkan pada tantangan untuk menjadi lebih baik dari yang lain. Dinamika kehidupan yang seperti ini, pada akhirnya, akan menciptakan individu-individu, selanjutnya masyarakat, yang aktif, dinamis, dan kreatif. Kejumudan dalam kehidupan, pada hakikatnya menghinggapi manusia dikarenakan ia terlahir pada situasi masyarakat yang singular dan tidak memiliki spirit kompetisi .

3.Toleransi Ditengah Pluralisme dalam Tinjauan al-Quran dan Sunnah
Suatu realitas yang sukar untuk dipungkiri bahwa pluralisme dalam masyarakat mesti sarat dengan “gesekan-gesekan”. Ta’âruf atau interaksi sosial yang dijalin antar individu/ masyarakat, pada hakikatnya, sangat berpotensi melahirkan tarik ulur kepentingan yang bisa mengarah kepada hal-hal yang destruktif. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan, sebagai ciri khas masing-masing individu dan masyarakat, tersebut mesti disikapi secara positif dan konstruktif sehingga tidak merugikan diri sendiri. Dengan demikian, pluralisme membutuhkan aturan-aturan main yang jelas untuk menjamin terpeliharanya kemaslahatan masing-masing pihak.

Dengan memahami hal diatas, tidaklah mengherankan jika al-Quran, yang memang diturunkan untuk mendorong terwujudnya kemaslahatan manusia- atau dalam ungkapan khas al-Quran “ikhrâju al-nâs min al-dzulumât ila al-nûr”, sangat konsern dengan hukum-hukum yang mengatur hubungan antar manusia. Penggalan awal surat al-Mudassir, yang termasuk salah satu surat yang pertama kali turun, umpamanya, telah memuat hukum-hukum penting yang berkaitan dengan pemeliharaan keharmonisan dalam masyarakat.[20]

Dalam kaitannya dengan kemajemukan ditengah masyarakat, al-Quran menggelari umat Islam sebagai “ummatan wasathan” (umat pertengahan/moderat). Menurut Quraish Shihab, kata al-wasat sendiri pada awalnya berarti segala yang baik sesuai dengan objeknya. Sementara itu, sesuatu yang baik biasanya selalu berada diantara dua posisi ekstrim. Contohnya, keberanian adalah sifat pertengahan antara ceroboh dan takut, sementara kedermawanan merupakan pertengahan antara sifat boros dan kikir. [21] Dalam kaitannya dengan respon umat Islam terhadap pluralisme, al-Quran juga memberikan solusi “jalan tengah”. Tujuannya, agar umat Islam tetap terpelihara al-wasathiyah-nya. Solusi dimaksud adalah pertengahan antara sikap ta’ashub (fanatisme) dan liberal, yang kemudian dikenal dengan istilah samâhah atau tasâmuh (toleransi).

Jika dicermati dengan seksama, kata tasâmuh atau samahâh sendiri sebenarnya tidak ditemukan dalam al-Quran. Meskipun demikian, hal tersebut tentu saja tidak dapat dijadikan pembenaran bahwa al-Quran tidak menyinggung serta mengajarkan toleransi. Ajaran al-Quran tentang hal ini, antara lain dapat ditelusuri dari penjelasannya tentang keadilan (al-‘adl atau al-qisth), kebajikan (al-birr), perdamaian (al-shulh atau al-salâm), dan lain sebagainya. Bahkan, penamaan agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW ini dengan “al-Islâm”, sebenarnya telah cukup menjadi bukti bahwa kedatangan Islam adalah untuk menghadirkan rahmat dan kedamaian bagi alam semesta. Sementara itu, kedamaian tidak akan terwujud tanpa adanya suasana toleransi ditengah realitas kemajemukan yang tidak terhindarkan.

Diatas telah dijelaskan bahwa toleransi merupakan sikap terbuka dalam menghadapi perbedaan. Didalamnya terkandung sikap saling menghargai dan menghormati eksistensi masing-masing pihak. Dalam kehidupan yang toleran, keseimbangan dalam hidup mendapatkan prioritasnya. Keanekaragaman tidak diposisikan sebagai ancaman, namun justru peluang untuk saling bersinergi secara positif. Dalam kacamata Islam, sikap seperti ini harus tetap dipelihara selama tidak ada pihak-pihak yang mencoba untuk merusak tatanan hidup yang ada tersebut. Hal ini berarti, jika keharmonisan dalam kemajemukan telah dirongrong oleh satu atau beberapa pihak, maka secara otomatis keberlangsungan toleransi akan turut terancam. Artinya, dibutuhkan sikap tegas dalam menghadapinya. Dalam hal ini Allah Swt berfirman:
لا ينهكم الله عن الذين لم يقتلوكم فى الدين ولم يخرجوكم من دياركم ان تبروهم وتقسطوا اليهم ان الله يحب المقسطين. انما ينهكم الله عن الذين قتلوكم فى الدين واخرجوكم من دياركم وظهروا على اخراجكم ان تولوخم ومن يتولهم فاولئك هم الظلمون (الممتحنة: 8-9)

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Siapa yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”[22]

Sejarah telah mencatat dengan tinta emas sikap toleran yang pernah ditunjukkan Nabi Muhammad Saw, para sahabat, serta generasi-generasi muslim sesudahnya, baik terhadap sesama mereka maupun terhadap pihak-pihak lain yang, terutama, tidak seagama. Ajaran Islam yang terpatri kuat di dada mereka telah melahirkan sikap lapang dada yang luar biasa dalam menerima perbedaan yang ada. Perbedaan suku, umpamanya, tidak sedikitpun merintangi kaum Anshar untuk menerima dengan baik saudara-saudara mereka kaum Muhajirin, meskipun pada saat bersamaan mereka juga tidak bisa dikatakan berkecukupan secara material.[23]Demikian juga perbedaan warna kulit dengan yang lain, tidak pernah menghalangi Bilal untuk menjadi muazin Rasul Saw dan kaum muslim, sebagaimana perbedaan bangsa juga tidak merintangi Salman al-Farisi untuk menjadi orang yang dekat dengan Rasulullah Saw. [24] Sebaliknya, semua muslim mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkarya dengan sebaik-baiknya (baca: beramal salih), tanpa harus teralienasi hanya karena perbedaan fisik, bahasa, atau suku bangsa. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:
كلكم لآدم و آدم من تراب الآ لا فضل لعربى على اعجمى الا بالتقوى ( رواه احمد([25]

“Kamu semua adalah keturunan Adam sedang Adam diciptakan dari debu. Tidak ada perbedaan antara Arab dengan yang lainnya, kecuali dengan ketakwaan” (HR. Ahmad).

Demikian juga halnya terhadap pihak-pihak yang berlainan agama, Rasulullah Saw tidak pernah mendiskreditkan eksistensi mereka atas dasar perbedaan akidah. Malah sebaliknya, Nabi Saw menerima dengan baik keberadaan mereka ditengah-tengah masyarakat muslim dan tidak sedikitpun memaksa mereka untuk mengikuti ajaran Islam.

Cukup banyak bukti historis yang dapat dikemukakan untuk mendukung klaim keadilan, kemanusiaan, kasih sayang, dan kebersamaan yang pernah ditunjukkan Rasulullah Saw dan generasi-generasi sesudahnya terhadap orang-orang yang tidak seagama. Semua perlakuan ini berhulu kepada prinsip toleransi yang dipegang dengan teguh, bukan sekedar lip service. Sebagai contoh, Imam al-Bukhari meriwayatkan:
عن انس رضى الله عنه ان النبى صلى الله عليه وسلم عاد يهوديا وعرض عليه الاسلام فاسلم فخرج وهو يقول الحمد لله الذى انقذه من النار (رواه البخارى([26]
“Dari Anas r.a: Suatu ketika Nabi Saw pernah menjenguk seorang Yahudi. Nabi Saw kemudian menawarkan kepadanya untuk masuk Islam dan orang Yahudi tersebut menerimanya. Nabi Saw lalu keluar seraya berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelematkannya dari api neraka.”

Dalam kesempatan lain, Nabi Saw memberikan contoh bertoleransi kepada para sahabatnya melalui tindakan konkrit yang ia lakukan.
روى جابر بن عبد الله قال: مرت بنا جنازة فقام النبى صلى الله عليه وسلم وقمنافقلنا يارسول الله انها جنازة يهودى فقال: اولست نفسا,اذا رايتم الجنازة فقوموا (رواه البخارى([27]
“Jabir bin Abdullah berkata, “Suatu ketika lewat di hadapan kami orang-orang yang membawa jenazah seorang Yahudi. Nabi Saw lalu berdiri dan kamipun segera mengikutinya. Setelah itu kami berkata, “Wahai Rasulullah, yang lewat tadi adalah jenazah seorang Yahudi.” Rasulullah kemudian menjawab, ”Apakah aku ini juga tidak seorang manusia? Jika kamu sekalian melihat orang sedang lewat membawa jenazah, maka berdirilah!”

Tentang perlindungan terhadap orang-orang non-muslim yang hidup di tengah-tengah komunitas umat Islam dan memiliki “kontrak” damai dengan kaum muslim, Nabi Saw bersabda:
من قتل معاهدا لم ير رائحة الجنة وان ريحها ليوجد مسيرة اربعين عاما (رواه البخارى([28]
“Siapa yang membunuh orang kafir yang berada dalam perjanjian damai (dengan kaum muslim), maka tidak akan mencium bau surga, padahal harumnya surga itu sudah dapat tercium dari jarak empat puluh tahun perjalanan”

Pendeklarasian Piagam Madinah (Mîsâq al-Madînah)[29] pada hakekatnya adalah contoh lain yang fenomenal dari praktek toleransi Islam. Keberadaan piagam ini telah menolak mentah-mentah tuduhan intoleransi yang dilontarkan para musuh Islam. Piagam Madinah berisi penegasan tentang kesetaraan fungsi dan kedudukan serta persamaan hak dan kewajiban antara umat muslim dan umat-umat lain yang tinggal di Madinah. Di dalamnya secara eksplisit dinyatakan bahwa umat Yahudi dan yang lainnya adalah umat yang satu dengan kaum muslim. Mereka akan diperlakukan adil dan dijamin hak-haknya selama tidak melakukan kejahatan dan pengkhianatan. Dengan undang-undang inilah Rasulullah Saw menata kehidupan masyarakat Madinah yang plural. Dalam perkembangan selanjutnya, spirit dari Piagam Madinah tetap dipelihara oleh para penguasa muslim dari generasi ke generasi. (selengkapnya tentang bunyi pasal-pasal Piagam Madinah: lihat lampiran)

4. Dasar Pemikiran dan Batasan Toleransi menurut al-Quran dan Sunnah
Yusuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa toleransi dalam Islam dibangun di atas beberapa landasan pokok, yaitu: [30]

a. prinsip tentang kemuliaan manusia betapapun beragamnya kehidupan mereka. Allah menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
ولقد كرمنا بنى ادم وحملناهم فى البر والبحر ورزقناهم من الطيبات وفضلناهم على كثير ممن خلقنا تفضيلا (الاسراء: 70(
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di darat dan di lautanKami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”[31]

b. Keyakinan bahwa pluralisme sudah merupakan kehendak Allah Saw yang tidak akan mengalami perubahan.Sebagai contoh, dalam kaitannya dengan pluralisme agama, Allah berfirman:

ولو شاء ربك لآمن من فى الأرض كلهم جميعا افانت تكره الناس حتى يكونوا مؤمنين (يونس:99 (

“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka seluruhnya menjadi orang-orang yang beriman?” [32]

c. Umat Islam meyakini bahwa mereka tidak bertanggungjawab terhadap jalan hidup yang dipilih oleh umat-umat lain. Kewajiban mereka hanya berdakwah, sementara pilihan antara iman atau tidak adalah urusan masing-masing pihak dengan Allah Swt. Allah Swt berfirman:
فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر (الكهف:29 (
“…maka siapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan siapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir…” [33]

d. prinsip tentang keadilan, selama pihak lain berlaku sama. Allah Swt berfirman:
ولا يجرمنكم شنان قوم على الآتعدلوا اعدلوا هو اقرب للتقوى (المائدة: 8)
“…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa….” [34]

Apa yang disebutkan oleh Yusuf al-Qaradhawi di atas, pada hakikatnya merupakan penegasan bahwa ajaran Islam tentang toleransi tidak dibangun di atas landasan yang rapuh, sebaliknya pada ajaran-ajaran fundamental yang masing-masing saling terkait. Satu hal yang agaknya dapat melengkapi dasar-dasar di atas adalah bahwa parameter yang digunakan Islam dalam menilai sesuatu adalah parameter keruhanian (ketakwaan), bukan parameter fisik atau keduniaan. Hal ini terlihat pada kesan yang ditimbulkan oleh ayat dan hadis yang berbicara tentang kesetaran dan persamaan hak dan kewajiban secara umum.

Tentang batasan toleransi, Islam menekankannya pada prinsip keadilan. Surat al-Mumtahanah: 8-9, umpamanya, telah mencerminkan pola hubungan yang proporsional dan berkeadilan tersebut. Kesan yang dapat ditangkap dari ayat ini adalah bahwa toleransi dapat terus berjalan selama pihak luar berlaku adil terhadap umat Islam, dalam konteks ini adalah tidak memerangi kaum muslim karena alasan agama, tidak mengusir kaum muslim dari negeri-negeri mereka, atau berkonspirasi dengan pihak lain untuk mengusir umat Islam. Akan tetapi, jika yang terjadi justru sebaliknya, maka tidak berlaku toleransi. Artinya, umat Islam harus bersikap tegas dengan memerangi mereka.[35]

Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa Islam bersikap sangat terbuka dengan kemajemukan. Bahkan, Islam memandangnya sebagai salah satu dari sunnatullah di alam ini. Keanekaragaman yang telah menjadi kehendak Allah tersebut, tentu saja bukan untuk dipertentangkan dan membawa kepada perpecahan. Akan tetapi dengan mensikapi secara positif dan konstruktif, pluralisme justru akan membawa manfaat yang besar terhadap kemaslahatan kehidupan manusia.

Toleransi dapat dikatakan sebagai jalan keluar yang dicetuskan Islam untuk mensikapi pluralisme. Banyak sekali ayat al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw yang dapat dijadikan referensi dalam menikmati hidup bertoleransi. Secara umum, al-Quran dan sunnah Nabi Saw menekankan pentingnya keadilan, kasih sayang dan kemanusiaan yang semuanya merupakan pilar-pilar toleransi. Hanya saja Islam menggarisbawahi bahwa toleransi hanya akan efektif jika masing-masing pihak tetap berjalan di atas relnya dan tidak merongrong eksistensi pihak lain. Dalam hal terjadi pengkhianatan terhadap nilai-nilai toleransi, maka Islam mengharuskan umat Islam bersikap tegas dengan memerangi pihak-pihak yang telah merusak harmoni ritme kehidupan tersebut.(misbahuddin)
______________________
[1] Al-Quran sendiri berulang kali menyatakan adanya upaya-upaya jahat seperti ini (dalam terminologi al-Quran: makr) yang dilakukan secara sistematis dan simultan oleh kelompok-kelompok yang membenci Islam. Lihat, diantaranya, Q.S 2:105, 2:109, 61:8, 3:118. Penyebutan secara berulang-ulang tersebut erat kaitannya dengan tujuan agar umat Islam senantiasa waspada dan mawas diri, karena konspirasi keji semacam itu tidak akan pernah berhenti sampai kapanpun.

[2]Yusuf al-Qaradhawi. 1994. Fatâwâ Mu’âshirah. Manshurah: Dar al-Wafa’. Cet. ke-3. Jilid ke-2. h. 667

[3]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (selanjutnya ditulis Depdikbud RI). 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Edisi ke-2. Cet. Ke-1. h. 1065

[4] Ibid.

[5]A. S. Hornby. 1986. Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English. London: Oxford University Press. Cet. ke-23. h. 909

[6]Abdul Malik Salman. 1993. al-Tasâmuh Tijâh al-Aqaliyyât ka Dharûratin li al-Nahdhah. Kairo: The International Institute of Islamic Thought. h. 2

[7]Jamaluddin Muhammad bin Mukram Ibn al-Mandzur. t. th. Lisân al-‘Arab. Beirut: Dar Shadir. Cet. ke-1. Jilid 7. h. 249

[8] Ahmad Warson Munawwir. 1997. Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif. Edisi ke-2. Cet. Ke-14. h. 657

[9]Abdul Malik Salman. Loc.cit.

[10] A. S. Hornby. Op.cit. h. 735

[11]Depdikbud RI, Op.cit. h. 777

[12]Muhammad Quraish Shihab. 1996. Wawasan al-Quran. Bandung: Mizan, Cet. ke-3. h. 320. Ayat yang dimaksud adalah surat al-‘Alaq (96): 2, yaitu:
خلق الانسان من علق (العلق: 2(

[13] al-Quran menyebut kelompok-kelompok spesies tersebut dengan “umat”. Istilah ini tidak saja ditujukan kepada komunitas manusia, namun juga terhadap himpunan-himpunan makhluk lainnya, seperti burung, binatang melata, dan sebagainya (perhatikan firman Allah dalam surat al-An’am (6): 38).

[14] Muhammad Imarah. 1997. al-Ta’addudiyyah:: al-Ru’yat al-Islâmiyyah wa al-Tahaddiyyat al-Gharbiyyah. Mesir: Dar al-Nahdhah. h. 4. Dalam hal ini ia menyatakan:
واذا كانت الرؤية الاسلامية قد قصرت "الوحدة" التي لا تركب فيه ا ولا تعدد لها ...على الذات االالهية وحدها دون كل المخلوقاتوالمحدثات والموجودات فى كل ميادين الخلق المادية والحيوانية والانسانية والفكرية. تلك التى قامت جميعها على التعدد والتزوج والنركب والارتفاقفان هذه الرؤية االاسلامية تكون بهذا " سنة " من سسن الله سبحانه و تعالى فى الخلق والمخلوقات جميعا و اية من الآيات التى لا تبديل لها ولا تحويل
[15] Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia (selanjutnya ditulis Kementerian Urusan Agama Islam KSA). 1997. al-Quran dan Terjemahnya. Medinah al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd. h. 644

[16]Ibid. h. 847

[17] Kementerian Urusan Agama Islam KSA. Op.cit.. h. 168

[18] al-Husein bin Muhammad al-Raghib al-Asfahani. 1997. Mu’jam al-Mufradât li Alfâdz al-Quran. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Cet ke-1. h. 108. Contoh lain dari penggunaan kata law dalam arti seperti diatas adalah firman Allah dalam surat Hud (11); 118, yaitu:
ولو شاء ربك لجغل الناس امة واحدة ولا يزالون مختلفين (هود: 118(
“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. Kementerian Urusan Agama Islam KSA. Op. Cet.. h. 345.
al-Qurthubi ketika menafsirkan ayat ini berpendapat bahwa di dalam ayat ini jelas terkandung sunnatullah kemajemukan. Bahkan, katanya, demi pluralisme itulah Allah menciptakan manusia dan alam semesta ini ( 
للاختلاف خلقهم. ). Lih: Abdullah bin Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi. t. th. Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Quran. Mesir: Dar al-Kutub al-Mishriyyah. Jilid ke-9. h. 114-115

[19]Kesan ini akan menjadi lebih jelas jika diamati firman Allah SWT dalam surat al-Zukhruf (43): 32, yaitu:
اهم يقسمون رحمة ربك نحن قسمنا بينهم معيشتهم فى الحيوة الدنيا ورفعنا بعضهم فوق بعض درجات ليتخذ بعضهم بعضا سخريا ورحمة ربك خير مما يجمعون (الزخرف: 32)
“ Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan di antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
Kementerian Urusan Agama Islam KSA. Op.cit. h. 798. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa perbedaan-perbedaan yang ada tersebut ditujukan agar manusia dapat saling memanfaatkan. Dengan demikian mereka akan saling membutuhkan dan mengadakan interaksi satu sama lain.

[20] Ayat dimaksud adalah ayat ke- 6 yang berbunyi:
ولا تمنن تستكثر (المدثر: 6)
“Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak”. Kementerian urusan Agama Islam KSA. Op.cit. h. 992

[21] Muhammad Quraish Shihab. Op.cit. h. 328

[22] Kementerian Urusan Agama Islam KSA. Op.cit. h.

[23] al-Quran mengabadikan sikap terpuji ini dalam surat al-Hasyr (58): 9

[24] Saking dekatnya dengan Nabi Saw, Salman bahkan sebut Nabi Saw sebagai “minnâ ahl al-bait” (termasuk ahl al-bait). Salman mendapatkan kehormatan tersebut antara lain dikarenakan kedudukan rohaniahnya yang sudah begitu tinggi, sampai mencapai sisi kesucian rohani seperti kesucian ahl al-bait. Jalaludin Rakhmat. 2002 Renungan-Renungan Sufistik. Bandung: Mizan. Cet. ke-14. h. 284

[25] Ahmad ibn Hanbal. 1993. Musnad Ahmad ibn Hanbal. Beirut: al-Maktab al-Islâmi. Cet. Ke-1. Jilid 5. h. 411

[26]Muhammad bin Ismail bin Ibrahim. 2001. Shahîh al-Bukhâri. Kairo: Dar al-Taqwa li al-Turast. Cet. Ke-1. Jilid.2. h. 539

[27] Ibid. Jilid. 1. h. 314

[28] Ibid. Jilid 2. h. 132

[29] Dalam tulisan-tulisan para sejarawan muslim generasi awal, istilah yang dipakai dalam menyebut Piagam Madinah adalah Shahîfah Madînah. Namun kemudian dalam literatur-literatur belakangan, istilah yang sering muncul adalah mîtsâq (charter), dustûr (constitution), dan deklarasi. Lih: Akram Diya al-Umari. Op.cit. h. 87

[30] Yusuf al-Qaradhawi. Op.cit. h. 677-678

[31] Kementerian Urusan Agama Islam KSA. Op.cit. h.435

[32]Ibid. h. 322

[33]Ibid. h. 448

[34] Ibid. h. 159

[35]Ismail bin Katsir. 1990. Tafsîr al-Quran al-‘Adzîm. Beirut: Dar al-Jil. Jilid-4. h. 349-350
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi. t. th. Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Quran. Mesir: Dar al-Kutub al-mishriyyah. Jilid-9

Abdul Malik Salman. 1993. al-Tasâmuh Tijâh al-Aqaliyyât Kadharûrotin li al-Nahdhah. Kairo: IIIT

Adib Ishaq, al-Afghani, dkk. 1993. Adhwâ’ ‘alâ al-Ta’ashub. Beirut: Dar Amwaj. Cet. Ke-1

Ahmad al-Makhzanji, 1987. al-‘Adl wa al-Tasâmuh al-Islâmiy. Kairo: Muassasah al-Ahram

Ahmad Warson Munawwir. 1997. Kamus al-Munawwir Arab- Indonesia Terlengkap.
Surabaya: Pustaka Progresif. Cet. Ke-14. edisi ke-2.

Ali Hasan al-Kharbuthali. 1969. al-Islâm wa Ahl al-Dzimmah. Kairo: Majlis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyyah

Akram Diya al-Umari. 1995. Madinan Society at the Time of the Prophet. Riyad. International Islamic Publishing House. Cet. Ke-2

Al-Husein bin Muhammad a-Raghib al-Asfahani. 1997. Mu’jam Mufradât li Alfâdz al-Quran. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Cet. Ke-1

Ali Abu al-Makarim (Ed.), t. th. Kitâb al-Muktamar al-Dauliy al-Khâmis li al-Falsafah al-Islâmiyyah. Kairo: Universitas Kairo

A. S. Hornby. 1986. Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English. London: Oxford University Press. Cet. Ke-23

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Edisi-2. cet. Ke-1

Husnain Taufik Ibrahim. 1998. al-Nidzâm al-Siyâsi wa al-Ikhwân al-Muslimûn fî Mishr: min al-Tasâmuh ilâ al-Muwâjahah. Beirut: Dar al-Thali’ah. Cet. Ke-1
In’am Mahmud Hamad. t. th. al-Tasâmuh fi al-Islâm wa Atsaruhu fi Dar’I al-Ta’ashub wa al-Irhâb. Kairo: al-Jami’ah al-Qahirah

Ismail bin Katsir. 1990. Tafsîr al-Quran al-‘Adzîm. Beirut: Dar al-Jil. Jilid-4
Jamal al-Banna. t. th. al-Ta’addudiyyah fî Mujtama’ Islâmiy. Kairo: Dar al-Ma’arif al-Islamiy

Jalaludin Rakhmat. 2002 Renungan-Renungan Sufistik. Bandung: Mizan. Cet. Ke-14

Jamaluddin Muhammad bin Mukram Ibn al-Mandzur. t. th. Lisân al-‘Arab. Beirut: Dar Shadir. Cet. Ke-1

Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia. 1997. al-Quran dan Terjemahnya. Madinah al-Munawwarah:. Mujamma’ al-Malik Fahd

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris. 1994. al-Ta’addudiyyah al-Siyâsiyyah fî Dzilli al-Daulah al-Islâmiyyah. Beirut: Muassasah al-Rayyan. Cet. Ke-1

Muhammad al-Ghazali. 1993. al-Ta’ashub wa al-Tasâmuh baina al-Masîhiyyah wa al-Islâm. Kairo: Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyyah. Cet. Ke-2

Muhammad al-Ahin bin Muhammad al-Mukhtar al-Syarqithi. 1995. Adhwâ’ al-Bayân fî Idhâh al-Quran bi al-Quran. Beirut: Dar al-Fikr. Jilid-8

Muhammad Imarah. 1997. al-Ta’addudiyyah: al-Ru’yat al-Islâmiyyah wa al-Tahaddiyyat al-Gharbiyyah. Mesir: Dar al-nahdhah

Muhammad Quraish Shihab. 2001. Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati. Cet. Ke-1
-------. 1996. Wawasan al-Quran. Bandung: Mizan. Cet. Ke-3

Yusuf al-Qaradhawi. 2000. al-Aqaliyyât al-Dîniyyah wa al-Hill al-Islâmiy. Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet. Ke-1

-------. 1977. Ghairu al-Muslimîn fî al-Mujtama’ al-Islâmiy. Kairo: Maktabah Wahbah. Cet. Ke-1

-------. 1994. Fatâwâ Mu’âshirah. Manshurah: Dar al-Wafa’. Cet. Ke-3. Jilid-2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar